Senin, 17 September 2012

Struktur anatomi dan fisiologis serangga

Serangga pada umumnya ringan dan memiliki eksoskeleton atau integumen yang kuat. Jaringan otot dan organ-organ terdapat di dalamnya. Di seluruh permukaan tubuhnya, integumen serangga memiliki berbagai syaraf penerima rangsang cahaya, tekanan, bunyi, temperatur, angin dan bau.
Pada umumnya serangga memiliki 3 bagian tubuh yaitu kepala, toraks (“dada”) dan abdomen (“badan”). Kepala berfungsi sebagai tempat dan alat masukan makanan dan rangsangan syaraf , serta untuk memproses informasi (otak). Berbagai macam bagian mulut serangga seperti: pengunyah (Orthoptera, Coleoptera, ulat Lepidoptera, penusuk-pengisap (kutu daun, walang sangit, nyamuk), spons pengisap (lalat), belalai-sifon (kupu-kupu dang ngengat).
Toraks yang terdiri atas tiga ruas memberikan tumpuan bagi tiga pasang kaki (sepasang pada setiap ruas), dan jika terdapat sayap, dua pasang pada ruas kedua dan ketiga. Bentuk kaki bervariasi menurut fungsinya seperti untuk menggali (jangkrik, Gryllidae), menangkap (walang sembah, Mantidae), untuk berjalan (semut, Formicidae) dsb.
Fungsi utama abdomen adalah untuk menampung saluran pencernaan dan alat reproduksi.  Anatomi internal serangga dicirikan oleh peredaran darah terbuka, adanya saluran-saluran atau pipa pernapasan dan tiga bagian saluran pencernaan.
Serangga memiliki jantung dan aorta tetapi darah beredar bebas di dalam rongga badannya. Udara memasuki tubuhnya melalui spirakel (lobang-lobang) pada dinding badannya, melaui system pipa yang becabang-cabang ke seluruh tubuh. 
Saluran pencernaan terdiri atas tiga bagian dengan fungsi yang berbeda-beda.  Sistem syaraf terdiri atas otak di kepala dan simpul-simpul syaraf di bagian toraks dan abdomen, berfungsi untuk mengolah informasi dan memberikan perintah-perintah ke organ-organ fungsional lainnya seperti otot dan kelenjar-kelenjar. 
Pengetahuan tentang struktur dan fungsi dari eksoskeleton serangga merupakan aspek penting karena berguna untuk pengembangan formulasi insektisida yang mampu menembus integumen serangga yang berlapis.
Kajian-kajian tentang komunikasi serangga menunjukkan bahwa terdapat senyawa-senyawa kimia yang berperan dalam komunikasi antar individu serangga, dan mekanisme dalam menemukan makanannya. Bahan kimia ini disebut feromon (pheromones) dan banyak di antaranya telah diidentifikasi dan diproduksi secara sintetik, misalnya bahan penarik (atraktan) untuk lawan jenis, atraktan agregasi (atraktan individu serangga sejenisnya) dan atraktan makanan. Feromon sintetik ini kini banyak digunakan untuk mengumpan serangga hama (kemudian diracuni dengan insektisida), mendeteksi adanya hama, mengestimasi kelimpahan dan untuk pengendalian. Apa pula feromon sintetik yang dalam pengendalian hama berfungsi membingungkan lawan jenis sehingga tidak memungkinkan terjadi perkawinan, dan berakibat pada penurunan populasi hama.
Struktur bagian mulut serangga digunakan juga dalam taktik pengendalian hama, terutama dalam aspek selektivitas. Misalnya jika suatu serangga hama daun memiliki tipe mulut mengunyah maka insektisida digunakan dengan cara penyemprotan pada permukaan daun. Cara ini hanya efektif jika daun dimakan hama sedangkan dengan kontak saja tidak efektif. Perlu dipertimbangkan juga akan adanya serangga yang bersifat musuh alami dari hama yang perlu dihindarkan dari bahaya insektisida.
Karena serangga bernapas melalui spirakel (lobang-lobang) pada integumen, penyumbatan spirakel akan meyebabkan kematiannya. Penggunaan insektisida berbasis minyak merusak integumen (yang bahan utamanya adalah kutikel).
Ada pula bakteri yang menyebabkan penyakit serangga seperti Bacillus thuringiensis. Komponen bakteri ini seperti  spora kini telah diproduksi dan dikemas sebagai insektisida thuricide. Thuricide menimbulkan penyakit saluran pencernaan pada serangga.  Sebagian besar insektisida yang digunakan sekarang merupakan racun syaraf dan banyak di antaranya secara kimia dikembangkan dari produk-produk alamiah seperti piretroida.
Contoh feromon sintetik yang kini digunakan sekarang antara lain untuk mengendalikan serangan rayap pada bangunan dengan jalan menarik (attracting); rayap yang tertarik diberi makan flumuron (bahan perusak kutukel), membawanya ke sarang koloni, menyebabkan koloni rayap tidak dapat berganti kulit dan kemudian punah.

Kebanyakan serangga memiliki kelamin dan bereproduksi secara seksual. Pada beberapa spesies jarang terdapat jantan atau jika terdapat hanya pada musim-musim tertentu saja. Dalam keadaan tak ada jantan, betinanya masih bisa bereproduksi.  Hal ini umum di antara kutu daun (Aphids). Pada beberapa jenis penyengat (Hymenoptera), telur yang tak dibuahi menjadi jantan, sedangkan yang dibuahi menjadi betina.
Apa pula spesies yang tak memiliki jantan, semua keturunannya betina. Biasanya setiap telur mengembangkan satu embrio, tapi ada juga yang mengembangkan banyak embrio (polyembryony), sampai ratusan. Biasanya, serangga bertelur; namun ada pula jesis-jenis yang telurnya menetas dalam tubuh induk sehingga melahirkan seperti ovipar, pada Aphids (kutu daun). 
Serangga mengalami metamorfosis sempurna yaitu sebagai berikut:
Pertumbuhan serangga biasanya melalui empat tahap bentuk hidup  yaitu: telur, larva / nimfa, pupa dan stadium dewasa. Telur diletakkan secara tunggal, atau dalam kelompok, di dalam atau di atas jaringan tanaman atau binatang inang yang menjadi sasaran makanan serangga.  Embrio di dalam telur berkembang menjadi larva atau nimfa (tergantung macam metamorfosis atau perkembangan) yang keluar dari telur pada saat telur menetas. Larva/nimfa memiliki tahapan perkembangan (instar), yang setiap tahapannya melalui proses pergantian kulit (ecdysis), karena setiap meningkatan ukuran tubuh pada satu instar ke instar berikutnya memerlukan integumen baru yang lebih besar (sama halnya dengan anak yang bertumbuh memerlukan pakaian yang ukurannya lebih besar). Larva berkembang menjadi pupa (pada ulat kup-kupu disebut cocoon atau kepompong), dan pupa dan nimfa berkembang menjadi serangga dewasa.
Baca juga info sains berikut:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar